Tuesday, February 5, 2008

AL-KHILÂFAH ( mutiara yang terlalu lama terpendam )

AL-KHILÂFAH

( mutiara yang terlalu lama terpendam )

Oleh: al-Watsiq bil-Haqq

WARMING-UP

Beberapa tahun terakhir ini isu penerapan Syarî’ah Islam di Indonesia semakin menggema, bersamaan dengan itu pula mencuat istilah “al-Khilâfah” yang merupakan metode dari penerapannya. Kata tersebut mungkin terdengar asing bagi sebagian umat muslim kontemporer yang bisa jadi selama hidupnya belum pernah mengenal atau merasakannya, karena memang sudah hampir satu abad Khilâfah tersebut hilang dari muka bumi ini[1] dan kebanyakan umat muslim yang ada saat ini, mereka dilahirkan ke dunia sedangkan Khilâfah sudah tidak ada, sehingga dalam menggambarkan dan mengembalikan lagi pemahaman tentangnya terasa sulit karena contoh praktis dari sistem tersebut sudah tidak dirasakan lagi (selain juga karena banyaknya pemikiran barat yang dipaksakan masuk dan meracuni pemikiran kaum muslimin), meskipun sebenarnya kata tersebut (al-Khilâfah) masih banyak tersebar di buku-buku sejarah atau kitab-kitab klasik, dan benda-benda peninggalannya pun juga masih banyak tersebar di berbagai tempat di muka bumi ini.

Pada tulisan yang singkat ini, kami perkenalkan Khilâfah dengan pendekatan ilmiah, merujuk pada pemahaman para pendahulu umat ini, yaitu para Ulama’ Salaf Rahimahumullâh.

TA’RÎFÂT

Kata Khilâfah adalah berasal dari bahasa Arab, sehingga kita tidak bisa sembarangan dalam memahaminya, dengan kata lain kita tidak bisa mengartikan kata tersebut dengan sekehendak hati kita. Jalan satu-satunya untuk mengetahui artinya adalah dengan mengikuti bagaimana orang Arab mengartikan kata tersebut, dan karena kata Khilâfah yang dibahas adalah yang berkenaan degan Islam, maka kita juga perlu tahu pengertian Khilâfah menurut Islam (pengertian syarî’).

Kata al-Khilâfah secara bahasa merupakan bentuk Mashdar (kata benda) dari kata khalafa-yakhlufu yang artinya: al-Imâmah dan al-Imâroh (berarti: kepemimpinan) dan juga an-Niyâbah ‘an al-Ghoiyr (pengganti orang lain).[2] Atau: "Pengganti orang lain yang disebabkan oleh ketiadaan atau kematian pihak yang diganti".[3] Khalafa fulânun fulânan idzâ kâna khalîfatahu (seseorang menggantikan seseorang), Khalaftuhu artinya (jika) aku datang sesudahnya (menggantikannya), al-Khalîfah artinya pengganti dari sebelumnya, Istakhlafa fulânun min fulânin mengandung arti menjadikan seseorang pada posisi orang lain (menggantikannya).[4]

Adapun istilah al-Khilâfah, al-Imâmah dan al-Imârah, atau biasa juga disebut dengan ar-Riyâsah al-‘Udhmâ, al-Imâmah al-‘Udhmâ atau Imâratu al-Mu’minîn[5] dalam ajaran Islam memiliki arti khusus, yaitu ma'nâ syar’î, yang meskipun para ‘Ulamâ’ menggunakan ungkapan yang berbeda, namun mengandung arti sama, diantaranya adalah:

1. Menurut Imam Al-Mâwardî: “Al-Imâmah merupakan sebutan untuk pengganti kenabian dalam menjaga agama dan mengatur urusan dunia”.[6]

2. Menurut Imam an-Nawawî: “Yang dimaksud dengannya (Khilâfah) adalah kepemimpinan umum dalam berbagai urusan agama dan dunia”.[7]

3. Menurut Imam Haromain al-Juwainî: “Al-Imâmah adalah kepemimpinan yang menyeluruh, dan kepemerintahan atas seluruh raykat (baik muslim dan non muslim) dalam kepentingan Agama dan Dunia”.[8]

4. Menurut Imam Ibnu al-Jauzî: “Pengganti Rasulullah SAW dalam menegakkan Agama dan menjaga keutuhan ajaran Islâm yang wajib diikuti oleh segenap umat”.[9]

5. Menurut Imâm an-Nasafî: “Perwakilan Rasulullah SAW dalam menegakkan agama yang wajib diikuti oleh segenap umat”.[10]

6. Menurut Imam Ibnu Khaldûn: “Yaitu kepemimpinan atas seluruh kaum muslimîn (di dunia) dalam berbagai urusan akhirat dan dunia (sehingga) sesuai dengan Syarî’ah, dimana urusan-urusan dunia ini di hadapan Allah SWT akan menentukan nasib kelak di akhirat. al-Imamah/al-Khilâfah pada hakikatnya adalah pengganti Sang Pembawa Syarî’ah (Rasulullah SAW) dalam menjaga agama dan mengatur urusan dunia dengannya (dengan agama)”.[11]

7. Menurut Imam al-Kattânî: “Kepemimpinan tertinggi (yang terwujud dalam) wilayah kesatuan umum/universal, yang berfungsi sebagai penjaga agama dan dunia”.[12]

8. Menurut Ibnu al-Azraq: “Yaitu perwakilan pembuat Syarî’ah (Allah SWT), dalam menjaga agama dan mengatur urusan dunia dengannya (dengan agama)”.[13]

Dan masih banyak lagi defenisi lainnya tentang al-Imâmah/al-Khilâfah yang mengandung makna serupa. Jika kita perhatikan dengan seksama definisi para ulama di atas, maka dapat disimpulkan bahwa pengertian al-Khilâfah secara Syarî’ adalah: “Kepemimpinan umum bagi segenap kaum muslimin dalam urusan agama dan dunia, dengan tujuan menegakkan hukum-hukum Syara’ dan menyebarkan Risâlah Islam ke seluruh penjuru dunia”.

Julukan untuk orang yang menjalankan Khilâfah, berdasarkan berbagai riwayat hadits Nabi SAW yang ada, Imam an-Nawawiy berkata: “Boleh hukumnya menyebut pimpinan kaum muslimin dengan sebutan al-Khalîfah, al-Imâm atau Amirul Mukminîn”.[14] Ketiganya mengandung arti yang sama. Arti al-Khalîfah secara Syar'î adalah: "Pemimpin tertinggi Daulah (Khilâfah) Islâmiyyah".[15]

Julukan Amîrul Mukminîn untuk pertamakalinya disandangkan kepada Khalifah Umar bin al-Khaththâb. Karena julukan untuk Abu Bakar adalah Khalîfatu ar-Rasûl (Pengganti Rasulullah), maka pada awalnya julukan Umar adalah Khalîfatu Khalîfati ar-Rasûl (Penggantinya Pengganti Rasulullah), namun melihat di kemudian hari julukan itu akan menjadi panjang dan sulit diucapkan, yaitu Khalîfatu Khalîfati Khalîfati ar-Rasûl (dan begitu seterusnya), maka kalangan sahabat di masa Umar berkata:

« نحن المؤمنون وعمر أميرنا، فدعي عمر ( أمير المؤمنين ) فهو أول من سمي بذلك »

“Kami adalah kaum mukminin, dan Umar adalah pemimpin kami, maka dipanggillah Umar untuk pertama kalinya (oleh kaum muslimin) dengan julukan Amîrul Mukminîn”.

sekaligus saat itu pula para sahabat berijma’ menggunakan kata al-Khilâfah (saja) untuk julukan bagi pemimpin tertinggi umat Islam pada masa-masa berikutnya. [16]

HUKUM KHILÂFAH

Mengenai hukum Khilâfah/Imâmah, hampir seluruh ulama’ mengatakan wajib[17], tidak ada yang menolak wajibnya Khilâfah kecuali an-Najadât dari kalangan al-Khawârij, serta al-Fûthî[18] dan al-Ashomm[19] dari kalangan Mu’tazilah[20]. Berikut perkataan Imam al-Qurthubî dalam tafsirnya tentang madzhab al-Ashomm:

« لا خلاف في وجوب ذلك بين الأمة ولا بين الأئمة إلا الأصم وكذلك كل من قال بقوله وأتبعه على رأيه ومذهبه قال واجبة في الدين بل يسوغ ذلك وأن الأمة متى أقاموا حجهم وجهادهم وتناصفوا فيما بينهم وبذلوا الحق من أنفسهم وقسموا الغنائم والفيء والصدقات على أهلها وأقاموا الحدود على من وجبت عليه أجزأهم ذلك ولا يجب عليهم أن ينصبوا إماما »

“Tidak ada pertentangan di kalangan Umat Islam dan para Imam/Ulama (di masa itu) kecuali … Ashom dan siapa saja yang menjadi pengikutnya, dan mengikuti pendapatnya. Madzhabnya berpendapat: (Khilâfah) wajib dalam agama, bahkan (Khilâfah)-lah yang mewujudkannya[21]. (Namun), selama ummat mampu menyelenggarakan Haji, menyelenggarakan Jihâd, bisa saling berbagi antar sesama, melaksanakan kebenaran, bisa membagikan Ghanîmah, Fai’ dan Shadâqah kepada yang berhak menerimanya, menegakkah Hudûd (hukum-hukum Allah) atas siapa saja yang wajib menanggungnya, maka tidak wajib bagi mereka (kaum muslimîn) mengangkat Imâm/Khalîfah.”[22]

Dari apa yang dikatakan oleh Imam al-Qurthubî di atas bisa ditarik kesimpulan bahwa al-Ashomm tidak mewajibkan Khilâfah dengan syarat Umat masih mampu menyelenggarakan ibadah Haji, menyelenggarakan Jihad, bisa saling berbagi antar sesama, melaksanakan kebenaran, bisa membagikan ghanîmah, fai’ dan sedekah kepada yang berhak menerimanya, menegakkah hudûd (hukum-hukum Allah) atas siapa yang wajib menerimanya.

Jika kita lihat realita di tengah-tangah umat saat ini, maka kita akan dapati hukum-hukum Allah SWT yang belum ditegakkan, dan pembagian harta yang tidak jelas, sehingga mereka yang sependapat dengan al-Ashomm, untuk saat ini secara otomatis juga mewajibkan pengangkatan seorang Khalîfah dan menegakkan Khilâfah.

Sebenarnya kalangan Khawârij dan Muktazilah pun pada umumnya mewajibkan ditegakkannya Khilâfah, ada pun an-Najadât, al-Ashamm dan al-Fûthî adalah “salah tiga” dari ulama mereka yang "kebetulan" tidak mewajibkan. Sedangkan ‘Ulamâ’ Ahlussunnah semuanya satu suara Mewajibkan Khilâfah. Berikut perkataan Imam Ibnu Hazm:

« اتفق جميع أهل السنة ، وجميع المرجئة ، وجميع الشيعة ، وجميع الخوارج على وجوب الإمامة ، وأن الأمة واجب عليها الانقياد لإمام عادل ، يقيم فيهم أحكام الله ، ويسوسهم بأحكام الشريعة التي أتى بها رسول الله حاشا النجدات من الخوارج »

“Semua Ahlussunnah, Murji’ah, Syî’ah dan Khawarij sepakat atas wajibnya Imâmah, dan wajib bagi umat Islam untuk mengangkat seorang Imam Adil, yang menerapkan hukum-hukum Allah SWT di tengah-tengah mereka, mengurus mereka dengan Syarî’ah yang dibawa Rasulullah SAW, kecuali an-Najadât dari kalangan Khawârij.” [23]

Demikianlah “Mafhûm” para ulama tentang Khilâfah, sampai-sampai karena begitu jelasnya hukum Khilâfah tersebut Imam asy-Syâfi'î tidak membahas secara khusus akan diwajibkannya Khilâfah dalam kitab fiqhnya, namun pandangan beliau tentang wajibnya Khilâfah tergambar pada pendapat-pendapat beliau dalam masalah-masalah fiqhiyyah tertentu, misalnya ketika beliau menerangkan kedudukan Khalîfah dalam Imamah Shalat, beliau berkata:

« وإن دخل الخليفة بلدا لا يليه وبالبلد وال غيره فالخليفة أولى بالصلاة لان واليه إنما ولى بسببه وكذلك إن دخل بلدا تغلب عليه رجل فالخليفة أولى فإن لم يكن خليفة فالوالى بالبلد أولى بالصلاة فيه فإن جاوز إلى بلد غيره لا ولاية له به فهو وغيره سواء »

"Jika seorang Khalîfah memasuki sebuah negeri yang dia tidak memerintahnya (secara langsung), sedangkan di negeri itu terdapat Wâlî selain dia, maka Khalîfah itu lebih utama (menjadi Imam) shalat di negeri itu, karena keberadaan Wâlî di negeri tersebut adalah kewenangan/ketetapannya (Khalîfah), begitu juga jika dia (Khalîfah) memasuki negeri yang lebih dipengaruhi oleh seseorang[24], maka Khalîfah lebih utama, jika tidak ada Khalîfah maka Wâli di negeri tersebut yang lebih utama (menjadi imam) dalam Shalat, dan jika dia (Khalîfah) masuk ke negeri orang lain yang tidak berada di bawah kekuasaannya, maka dia dan selain dia adalah sama (dalam hal hak mengimami shalat)." [25]

Demikian pula Imam Ibnu Rusyd, pandangan beliau tentang wajibnya Khilâfah tergambar jelas ketika menerangkan masalah perhakiman, beliau berkata:

« ولا خلا ف في جوازحكم الامام الاعظم، وتوليته للقاضي شرط في صحة قضائه،

لا خلاف أعرف فيه »

"Tidak ada perbedaan (di kalangan Ulama’) dalam hal sahnya hukum (yang diputuskan oleh) al-Imâm al-A'dham (al-Khalîfah), dan pemberian kewenangan olehnya kepada seorang qadlî (hakim), merupakan syarat syahnya perhakimannya, tidak ada perbedaan pendapat yang aku ketahui dalam hal tersebut."[26]

Dari ungkapan dua Ulama’ (dari dua generasi yang berbeda) di atas kita bisa pahami, bahwa keberadaan Khalîfah adalah suatu keniscayaan dan kelaziman bagi kaum muslimin, dia berperan sebagai Imam tertinggi kaum muslimin yang berkewajiban memimpin mereka (dalam urusan akhirat dan dunia), dan penetapan hukum oleh hakim yang tidak mendapat rekomendasi darinya adalah bâthil (batal) atau tidak sah, sebagaimana tidak sahnya wali (semacam gubernur) yang tidak ditetapkan olehnya. Demikianlah pemahaman tentang Khilâfah dan serba-serbinya oleh ulama’ Ahlussunnah wal Jamâ’ah yang diwakili oleh Imâm asy-Syâfi’î dan Imâm Ibnu Rusyd di atas.

URGENSITAS KHILÂFAH

Benar, para sahabat Nabi SAW serta para ulama’ terdahulu menggolongkan perkara Khilâfah ini sebagai perkara yang sangat penting dan mendesak, dan menganggapnya sebagai kewajiban yang sangat besar. Bagaimana tidak, para sahabat menangguhkan pemakaman jenazah Nabi SAW setelah beliau wafat (yang hukumnya jelas Fardhu Kifâyah) hanya untuk memilih pengganti posisi beliau sebagai pimpinan umum kaum muslimin (bukan posisi beliau sebagai Rasulullah), dan akhirnya terpilihlah Abu Bakar ash-Shiddiq sebagai Khalîfah pengganti Rasulullah SAW.[27]

Sebagaian umat Islam yang tidak mengerti telah berprasangka buruk terhadap apa yang telah dilakukan oleh para sahabat tersebut, mereka menganggap para sahabat dengan tamaknya telah memperebutkan tahta kekuasaan atas umat Islam sepeninggal Rasulnya, pemahaman yang demikian ini adalah salah besar! dan fitnah yang amat keji!. Para sahabat adalah orang-orang paling paham tentang seluk-beluk Islam, mereka adalah orang-orang pilihan, hasil didikan Rasulullah SAW yang sudah bertahun-tahun hidup bersama beliau. Mereka tahu sepeninggal Rasulullah SAW harus ada orang yang menggantikan beliau dalam menegakkan agama dan mengatur urusan dunia dengannya, menjalankan hukum-hukum Allah SWT, mencegah dan menindak kedzaliman, serta menyebarkan Risâlah Islam keseluruh penjuru dunia yang mustahil hal itu semua hanya dilakukan oleh individu.

Hukum Qishâsh harus selalu tegak. Karena selain merupakan perintah Allah SWT[28], mereka tahu betapa mahalnya harga nyawa seorang muslim, sehingga harus ada yang menjamin jiwa setiap muslim kapan dan dimana pun mereka berada, itu karena para sahabat pernah mendengar sabda Rasulullah SAW:

« لَزَوَالُ الدُّنْيَا أَهْوَنُ عِنْدَ اللَّهِ مِنْ قَتْلِ رَجُلٍ مُسْلِمٍ »

“Sungguh binasanya bumi ini lebih remeh di sisi Allah dari pada terbunuhnya seorang muslim”.[29]

Para sahabat juga tahu dan paham betul betapa darah dan harta kaum muslimin adalah hal yang juga sangat berharga sehingga harus ada yang menjaga dan menjamin keamanannya, mereka pernah mendengar khutbah Nabi SAW:

« أيها الناس إن دماءكم وأموالكم عليكم حرام إلى أن تلقوا ربكم »

“Wahai manusia, sesungguhnya darah dan harta kalian adalah haram bagi kalian hingga kalian berjumpa Tuhan kalian kelak”.[30]

Mereka juga pernah mendengar Sabda Rasulullah SAW:

« إِنَّمَا هَلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ أَنَّهُمْ كَانُوا يُقِيمُونَ الْحَدَّ عَلَى الْوَضِيعِ وَيَتْرُكُونَ الشَّرِيفَ،

وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَوْ أَنَّ فَاطِمَةَ فَعَلَتْ ذَلِكَ لَقَطَعْتُ يَدَهَا »

“Sesungguhnya orang-orang sebelum kalian menjadi binasa karena mereka menerapkan hukum atas orang miskin tapi tidak untuk orang kaya, Demi Dzât yang nyawaku ada di tanganNya, seandainya Fâtimah (binti Muhammad) melakukan itu (mencuri), niscaya sudah aku potong tangannya”.[31]

Dan masih banyak lagi hukum-hukum lainnya yang tidak boleh ada jeda dalam pelaksanaannya, sehingga keberadaan Khilâfah (sebagai metode dalam menegakkan hukum-hukum tersebut) pun juga demikian, kaum muslimin tidak boleh ada jeda dari keberadaannya. Karena itulah para sahabat menyegerakan urusan Khilâfah ini.

Tidak jauh berbeda dengan generasi sahabat, para Ulama’ terdahulu pun juga menganggap begitu pentingnya perkara Khilâfah ini, sehingga Imam al-Ghozalî, penulis kitab ternama Ihyâ’ Ulumi ad-Dîn, memasukkan perkara Khilâfah dalam kitab beliau yang membahas akidah, yaitu al-Iqtishâd fi al-I’tiqâd. Dalam kitab tersebut beliau mengatakan:

« أن نظام الدين لا يحصل إلا بنظام الدنيا »

“Bahwa sistem/aturan agama tidak akan dapat dicapai (dengan sempurna) tanpa sistem/aturan dunia (institusi pemerintahan/negara)”

Tentunya yang dimaksud di situ adalah: “Keinginan menerapkan Islam secara sempurna menuntut umat Islam untuk menerapkannya sebagai sistem pemerintahan negara”, Lebih lanjut beliau juga menyampaikan:

« الدين أس والسلطان حارس وما لا أس له فمهدوم وما لا حارس له فضائع »

“Agama laksana pondasi dan kekuasaan (negara) laksana penjaga, setiap yang tidak berpondasi akan runtuh, dan setiap yang tidak berpenjaga akan hilang”. [32]

Lebih dari pada itu dalam karyanya yang lain, kitab al-Wasîth, beliau mengatakan:

« القضاء والقيام بمصالح المسلمين والإنتصاف للمظلومين من أفضل القربات وهو من فروض الكفايات وهو أفضل من الجهاد وأهم منه لأن الجهاد لطلب الزيادة والقضاء لحفظ الموجود »

“al-Qadlâ’ (perhakiman), menegakkan urusan-urusan kaum muslimin dan menyelamatkan orang-orang yang terzalimi adalah sarana paling utama dalam mendekatkan diri kepada Allâh, semua itu termasuk di antara hal-hal yang hukumnya Fardhu Kifâyah, dia lebih utama dan lebih urgen dari pada Jihâd, karena Jihâd adalah metode untuk mencari tambahan (kaum muslimin) sedangkan al-Qadlâ’ merupakan metode untuk menjaga (kaum muslimîn) yang sudah ada”.[33]

Sikap serupa juga tercermin dari perkataan Imam Ibnu Katsir dalam kitab tafsirnya:

« وجوب نصب الخليفة ليفصل بين الناس فيما اختلفوا فيه ويقطع تنازعهم وينتصر لمظلومهم من ظالمهم ويقيم الحدود ويزجر عن تعاطي الفواحش ذلك من الامور المهمة التي لا تمكن إقامتها إلا بالإمام وما لا يتم الواجب إلا به فهو واجب »

“Kewajiban mengangkat seorang Khalîfah (yaitu) untuk melerai perbedaan diantara manusia, menyudahi pertentangan diantara mereka, memenangkan mereka yang didzalimi dari mereka yang mendzalimi, menegakkan hukum-hukum (Allah SWT) dan mencegah perbuatan-perbuatan keji, itu semua diantara perkara-perkara yang penting yang tidak bisa ditegakkan kecuali dengan adanya Imam/Khalîfah. Dan setiap apa yang kewajiban tidak sempurna tanpanya maka hukumnya adalah wajib”.[34]

Dengan nada yang lebih tegas lagi, Imam Ibnu Qoyyim al-Jauziyyah berkata:

« حاجة الناس إلى الشريعة ضرورية فوق حاجتهم إلى كل شيء »

"Kebutuhan manusia kepada Syari'at adalah (perkara) bersifat darurat/mendesak, melebihi kebutuhan mereka kepada segala sesuatu."[35]

REFLEKSI

Kaum muslimin yang dirahmati oleh Allah SWT,

Penjelasan sebagaimana di atas, tidak akan pernah kita dapatkan dari para Orientalis Barat yang bisanya hanya mencari-cari celah atau kesalahan dari ajaran Islam yang sempurna ini. Kita hanya akan tahu tentang Islam dengan jelas dan benar sebagaimana adanya jika kita mencari penjelasan itu dari Al-Qur’an dan As-Sunnah serta dari para ‘Ulamâ’ Islam terdahulu, bukan malah dari orang non-muslim, apalagi musuh-musuh Islam (termasuk yang menyamar atau bahkan yang mengaku sebagai muslim).

Khilâfah tidaklah untuk diperdebatkan tapi diperjuangkan, karena memperdebatkannya hanya akan membuang tenaga yang ujung-ujungnnya berakhir nanti jika Khilâfah benar-benar telah tegak berdiri (Bimasyî-atillâh). Yang jelas, tanpa keberadaannya, gelar umat Islam sebagai Khairu Ummah (umat terbaik) seperti yang digambarkan al-Qur’an tidaklah tampak nyata, jangkauan dakwah Islam menjadi sempit dan hanya bersifat parsial (tidak bisa mendunia), suara Ulamâ atau Fuqahâ’ tidak lah lebih berharga dari suara Juhalâ(demikianlah konsekwensi sistem demokrasi), kedzaliman semakin merajalela, budaya riba semakin meradang, hak-hak rakyat (terutama fakir-miskin, anak-anak yatim, para janda, gelandangan) semakin dilupakan, harga nyawa seorang muslim tidak lah lebih mahal dari harga nyawa seekor nyamuk, kasus pembunuhan, perampokan, pencurian, perzinaan dan riba menjadi hal menyesakkan yang dianggap wajar, kekayaan negeri kita terus dikuasai swasta dan asing, pembodohan lewat kapitalisasi pendidikan terus berlangsung, ketergantungan kepada pihak asing dalam bidang politik dan ekonomi semakin nyata, harga kebutuhan pokok sehari-hari akan terus melambung (beginilah nasib negara Kapitalis-Objek), serta segudang lagi permasalahan lainnya.

Itu semua belum termasuk dosa akibat ditinggalkannya kewajiban-kewajiban yang hukumnya Fardhu Kifâyah, seperti hukum mengangkat Imâm/Khalîfah, Qadlâ’ (termasuk di dalamnya hudûd dan jinâyât) serta Jihâd, hingga detik ditulisnya artikel ini hukum-hukum tersebut belumlah terwujud, sehingga dalam kondisi seperti ini, antara hukum Fardlu Kifâyah dengan hukum Fardlu ‘Ain tidak ada bedanya.[36]

Bagi saudara-saudara kita yang menganggap bahwa Khilâfah sudah tidak relevan lagi diterapkan di masa sekarang, dan menganggap hukumnya sudah tidak wajib, maka ketahuilah bahwa dengan begitu secara tidak langsung mereka telah menganggap hukum Allah SWT sebagai hukum kuno yang hanya pantas diterapkan pada masa 14 abad yang silam, selain juga bahwa hukum di dalam Islam tidaklah berubah dengan perubahan masa, tempat dan kondisi, juga tidak berubah saat banyak orang yang meninggalkannya, sebagaimana kewajiban shalat lima waktu yang tidak akan berubah secara mutlak menjadi haram, sunnah, mubah atau makruh dimanapun dan kapanpun, bahkan meskipun kaum muslimin banyak yang meninggalkannya. Dia tetap sebagai kewajiban hingga hari kiamat tiba.

Bagi sudara-saudara kita yang menganggap bahwa Khilâfah tidak sesuai dengan konteks ke-Indonesiaan, maka ketahuilah bahwa dengan begitu secara tidak langsung mereka telah menganggap Allah SWT bodoh (na’udzubillâh min dzâlik!), mengaggap Allah SWT tidak tahu bahwa Syarî’ah Islam ternyata tidak sesuai diterapkan di Indonesia, hal ini bertentangan dengan firmanNya menyeru seluruh manusia (tanpa terkecuali) untuk melaksanakan Islam secara sempurna[37]. Selain juga Allah SWT tidak mungkin berlaku Dzalim terhadap hambanya, mewajibkan sesuatu yang tidak bisa dilaksanakan.[38]

Bagi saudara-saudara kita yang begitu getol menolak dan menentang Khilâfah, mereka tidaklah memiliki Hujjah yang kuat kecuali hanya pendapat-pendapat lemah berdasarkan dugaan akal semata, mereka juga tidak memiliki imam yang dianut melainkan para ‘Ulamâ’ Suu’ yang muncul di akhir zaman, mengharamkan yang halal dan menghalalkan yang haram, karena semua Ulama' yang “Lurus” telah menyatakan sepakat akan wajibnya Khilâfah. Disadari atau tidak, para penentang Syarî’ah dan Khilâfah sebenarnya telah menjadi antek-antek kaum kuffâr dalam menghambat kebangkitan umat Islam, karena selama ini itulah yang mereka usahakan, mencitraburukkan Islam, mengidentikkan Syarî’ah Islam dengan terorisme, kekejaman, pelanggaran HAM, dll. Menumbuhkan keraguan dalam diri umat Islam akan ajaran Islam sendiri.

Pertanyaan yang kemudian perlu kita renungkan dalam-dalam adalah, Sebenarnya siapakah yang dirugikan jika Khilâfah benar-benar tegak? Apa untungnya memusuhi atau menghambat perjuangan penegakan Syarî’ah dan Khilâfah? (kecuali bagi mereka yang memang diberi upah oleh pihak Kafir Barat untuk hal tersebut sebagaimana JIL), Dan terakhir, setelah tahu hal ini, apakah kita tetap akan tinggal diam dan acuh tak acuh terhadap perkara Khilâfah? Masihkan kita bisa bernafas lega tanpanya?, sedangkan kebutuhan kita kepada tegakknya Syari’at Islam lebih mendesak dari bernafas itu sendiri!

Harapan, jika pun ada di antara kita yang merasa “alergi” terhadap partai, golongan atau kelompok tertentu yang “kebetulan” memperjuangkan Khilâfah ini, janganlah kemudian perasaan tersebut menjadikan mata kita buta dari kebenaran yang ada. Bahwasannya Khilâfah adalah wâjib ditegakkan.

Wallâhu A’lam bi ash-Shawâb


[1] Yaitu runtuh sejak kurang lebih 84 tahun yang lalu, tepatnya pada tanggal 03 Maret 1924 M.

[2] Lihat kamus al-Munjid, hal 192

[3] Lihat Muhammad Abd. ar-Ra'uuf al-Manawî, at-Ta'ârîf, juz 1 hal. 322

[4] Lihat al-Jauharî, ash-Shahhâh, juz 4 hal. 1356, lihat juga Ibnu Mandhûr, Lisân al-‘Arab, juz 9 hal. 85-86, al-Fairuz Abadî, Qâmûs al-Muhîth, juz 3 hal. 137

[5] Imam an-Nawawî asy-Syâfi’î, al-Majmû’, Juz 19 hal. 191. Lihat juga Imam al-Kattânî, Nidhâmu al- Hukûmah an-Nabawiyyah, Juz 1 hal. 75

[6] Imam al-Mâwardî, al-Ahkâm as-Sulthâniyyah, Hal. 5

[7] Imam an-Nawawî, al-Majmû’ Syarh Al-Muhadzdzab, juz 19 hal. 191

[8] Imam al-Juwainî, Ghiyâtsu al-Umam fî Iltiyâtsi adh-Dhulm, hal 15

[9] Imam Ibnu al-Jauzî, Asnâ al-Mathâlib, Juz 19 hal. 347

[10] al-‘Aqâ’id an-Nasafiyyah hal. 179

[11] Imam Ibnu Khaldûn, al-Muqaddimah, hal 190

[12] Imam al-Kattâ, Nidhâmu al- Hukûmah an-Nabawiyyah, Juz 1 hal. 75

[13] Abu Abdillâh Ibnu al-Azroq, Badâ’i’u as-Sulûk fî Thabâ’i’î al-Muluk, Juz 1 hal. 29

[14] Imam an-Nawawî Asy-Syâfi’î, Roudlotu ath-Thâlibîn, Juz 10 hal. 49. Lihat juga di mughnî al-Muhtâj, karya asy-Syarbinî, Juz 4 hal. 132

[15] Muhammad Rawwâs Qal'ajî, Mu'jam Lughatu al-Fuqohâ', hal 200

[16] Lihat Abu Abdillah Muhammad Ibnu Sa’d al-Bashrî az-Zuhrî, ath-Thabaqât al-Kubrâ, Juz 3 hal. 281

[17] Sulaiman bin Amr, Hâsyiyah al-Bujairimî, Juz 4 hal. 204. Sebagai contoh perkataan para ulama’ yang dengan tegas menyatakan wajibnya Khilâfah/Imâmah, silahkan lihat: Imam an-Nawawî, Roudlatuth-Thâlibin, Juz 3 hal. 433, Ibnu Khaldûn, al-Muqaddimah, hal. 132, Abu Yahya Zakariyya al-Anshorî, Fathul wahhâb, Juz 2 hal. 268, Abu Muhammad Ali bin Hazm Al-Andalusî Adz-Dzahirî, Marâtibu al-Ijmâ’, juz 1 hal 124, Imam al-Mâwardî, al-Ahkâm as-Sulthâniyah, Juz 1 hal. 3, Imam Abu Hamid al-Ghozâlî, al-Wasîth, Juz 7 hal. 287, Imam Abu Hamid al-Ghozâ, al-Iqtishâd fil-I’tiqâd, Juz 1 hal. 75, Abdul Hamid asy-Syarwanî, Hawâsyî asy-Syarwânî, Juz 9 hal. 74, Ibnu al-Jauzî, Asnâ al-Mathâlib, Juz 19 hal. 347, Imam Abu Abdillah al-Qurthubî, Tafsîr al-Qurthubî, Juz 1 hal 264, Hâsyiyyatu Qalyûbî wa ‘Umairah, Juz 15 hal. 102, Umar bin Ali al-Andalûsî, Tuhfatu al-Muhtâj fî syarihil minhâj, Juz 38 hal. 184, Muhammad al-Khâthib asy-Syarbiniy, Mughni al-Muhtâj Ilâ Ma’rifati Alfâdzi al-Minhâj, Juz 16 hal. 187, Nihâyatu al-Muhtâj ilâ Syarhi al-Minhâj, Juz 25 hal. 414, Abu Fidâ’ Isma’îl Ibnu Katsîr, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Adzîm, juz 1 hal. 221, Abul Qasim Al-hasan bin Muhammad An-Naisaburî Asy-Syâfi’î, Tafsîr An-Naisaburî, juz 5 hal 465, Hâsyiyatu al-Jumal, Juz 21 hal. 42, Abu ath-Thayyib, ‘Aunu al-ma’bûd, Juz 8 hal. 112, Hâsyiyatu al-Bujairimî ‘alâ al-Minhâj, Juz 15 hal. 66, Hâsyiyatu al-Bujairimî ‘alâ al-Khâthib, Juz 12 hal. 393, Muhammad asy-Syarbinî al-Khâthib, al-Iqnâ’ li asy-Syarbinî, Juz 2 hal. 550, Ibrâhim bin Ali al-Fairuz Abadî asy-Syairazî, at-Tanbîh, Juz 1 hal. 248, ‘Alauddin Al-Kassanî Al-hanafî, Badâ’iush Shanâi’ fî Tartibis Syarai’, juz 14 hal. 406, Abu Ya’lâ al-Farrâ’, al-Ahkâm as-Sulthâniyyah, hal. 19, Asy-Syahrastanî, Nihâyatu al-Iqdâm fî ‘Ilmi al-kalâm, Juz 1 hal. 172, Ibnu Quddâmah, al-Mughnî, Juz 10 hal. 89, Abu Bakar Ahmad bin al-Husain al-Baihaqî, Sya’bu al-Îmân, Juz 6 hal. 6, Umar bin Ali bin Adil Al-hambalî Ad-dimasyqi, Tafsîrul Lubab fî ‘Ulûmil Kitâb, juz 1 hal 204, Umar bin Ali bin Adil al-Hambalî ad-Damsyiqî, Tafsir Lubâb fî ‘Ulûm al-Kitâb, juz 1 hal. 204, Abu al-Hasan Ali bin Sulaiman al-Mardawiy al-Hambalî, al-Inshâf fî Ma’rifati ar-Rajih min al-Khilâf ‘alâ Madzhabi al-Imâm Ahmad bin Hambal, juz 16 hal 60 dan 459, Mansur bin Yunus bin Idrîs al-Bahutî al-Hanafî, Kasyfu al-Qinâ’ fî Matni al-Iqnâ’, juz 21 hal. 61, Musthafa bin Sa’ad bin Abduh as-Suyûthî al-Hambalî, Mathâlibu Ulin-Nuhâ fî Syarhi Ghâyati al-Muntahâ, juz 18 hal 381, Imam Fakhruddin Ar-razî, Mafâtihu al-Ghâib fî At-Tafsîr, juz 6 hal. 57 dan 233, Sayyid Husain Afandi, al-Husun al-Hâmidiyyah lî al-Muhâfadzah ‘alâ al-‘Aqâ’id al-Islâmiyyah, hal 189, dan masih banyak lagi.

[18] Yaitu Hisyam bin ‘Amr al-Fuuthî dari Bashrah, Lihat Thabaqat al-Mu’tazilah, hal. 69

[19] Yaitu Abu Bakar Abdurrahman bin Kaisanî al-Ashamm, salah satu tokoh muktazilah, lihat Firaq wa Thabâqat al-Mu’tazilah, hal 65

[20] Abdullâh bin ‘Umar bin Sulaimân Ad-Dumaijî, al-Imâmah al-‘Udhmâ ‘Inda Ahli as-Sunnah wal-Jamâ’ah, hal. 45

[21] Maksudnya mewujudkan keberlangsungan agama dengan sempurna.

[22] Imam al-Qurthubî, Tafsir al-Qurthubî, Juz 1 hal. 264

[23] Abdullâh bin ‘Umar bin Sulaimân Ad-Dumaijî, Al-Imâmah al-‘Udhmâ ‘inda Ahli as-Sunnah wa al-Jamâ’ah, hal. 27, Lihat juga Ibnu Hazm, Al-Fashl fi al-Milal wa al-Ahwâ’ wan Nihal, juz 4 hal. 87

[24] Semacam kasus yang terjadi di masa Khalîfah Ali bin Abi Thâlib r.a., dimana saat itu Mu’âwiyah r.a. memiliki pengaruh besar di Madinah.

[25] Imam asy-Syâfi'î, Al-Umm, juz 1 hal. 183

[26] Ibnu Rusyd, Bidâyatu al-Mujtahid wa Nihâyatu al-Muqtashid, juz 2 hal. 378

[27] Abu Ja'far Muhammad ibn Jarir ath-Thabarî, Sirah ath-Thabarî, juz 2 hal. 234

[28] Lihat Surat al-Baqarah (2): 178, al-Isra’ (17): 33

[29] Sunan an-Nasâ’î, Juz 12 hal. 338 Hadits No. 3922, lihat juga Sunan at-Tirmidzî, Juz 5 hal. 275 Hadits No. 1315, Sunan Ibnu Mâjah Juz 8 hal. 48 Hadits No. 2609

[30] Sirah Ibnu Hisyâm, Juz 6 hal. 8

[31] Shahih al-Bukhârî, Juz 21 hal. 47 Hadits No. 6289. Dalam hadits tersebut Rasulullah SAW mencontohkan sikap seorang pemimpin negara Islam yang tegas tanpa ragu dan pandang bulu dalam menegakkan hokum Allah SWT.

[32] Lihat Imam Abu Hâmid al-Ghozâlî, al-Iqtishâd fil-I’tiqâd, Juz 1 hal. 75

[33] Imam Abu Hâmid al-Ghozâlî, al-Wasîth, Juz 7 hal. 287

[34] Imam Ibnu Katsîr, tafsir al-Qur’ân al-‘Adhîm, Juz 1 hal. 73

[35] Lihat Imam Ibnu Qoyyim al-Jauziyyah, Miftâhu Dâr as-Sa'âdah wa Mansyûru Wilâyati al-‘Ilmi wa al-Irâdah, juz 2 hal. 2. Pada penjelasan beliau lebih lanjut, kebutuhan manusia kepada Syari'at bahkan lebih mendesak dari pada kebutuhan mereka untuk bernafas, makan dan minum. Karena tanpa Syari'at, yang rusak bukan hanya badan tapi juga qalbu dan ruh.

[36] Syaifuddin al-Âmidî, al-Ihkâm Ushûli al-Ahkâm, juz 1 hal 100, Lihat juga Asy-Syirazî, al-Luma’ fî Ushûli al-Fiqh, hal. 82

[37] Lihat Surat al-Baqarah (2): 208

[38] Lihat Surat al-Mu’min (40): 30